
Foto dan Redaksi: Akbaruddin
Halmandini66:
“Kilas balik” Pak Menteri, pernyataan tersebut menyesatkan dan hanya sebagai upaya untuk mengaburkan peraturan tentang Tunjangan Kinerja (TUKIN) sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri (KEPMEN) Nomor 447/P/2024. Tidak perlu membandingkan antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berprofesi sebagai dosen dengan PNS atau ASN yang merupakan tenaga kependidikan. Sebaiknya dibandingkan saja dengan kementerian lain yang memiliki profesi serupa, yaitu sebagai tenaga dosen. Di kementerian lain, para dosen sudah menerima TUKIN, namun hanya di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (yang kini berubah nama menjadi Kemendikti Saintec) yang tidak menerima tunjangan sejenis, yakni TUKIN.
Padahal, TUKIN itu sendiri sudah secara nyata, jelas, dan konkret diatur dalam KEPMEN Nomor 447/P/2024. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh mengelak dan menghindari pelaksanaan KEPMEN tersebut. Jika tidak dilaksanakan, maka hal tersebut termasuk perbuatan melawan hukum karena TUKIN sebagaimana telah diatur dalam KEPMEN tersebut bersifat normatif, mengikat, dan telah menjadi hak asasi bagi dosen untuk menerimanya.
Tunjangan profesi merupakan hal yang berbeda dan harus diatur dalam peraturan lainnya. Ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 44 Pasal 51 Ayat 2, di mana gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji harus di atas Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), sesungguhnya banyak dosen kita yang masih menerima penghasilan di bawah nilai KHM tersebut. Nah, ini adalah permasalahan tersendiri karena penghasilan dosen pun sudah diatur dalam Permen Nomor 44 tersebut, namun faktanya tidak sesuai. Oleh karena itu, sangat wajar jika gaji dosen tersebut harus diremunerasi. Tetapi sekali lagi, kita harus memisahkan antara TUKIN dan remunerasi itu sendiri karena keduanya berbeda dan berdiri sendiri-sendiri. TUKIN adalah TUKIN, dan permasalahannya berbeda dengan yang lainnya, apa pun namanya, karena masing-masing memiliki aturan sendiri-sendiri.
Namun, masalah demi masalah terus muncul. Selalu ada diskriminasi dalam pemberlakuan aturan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah sangat konkret dan eksplisit menyebut Perguruan Tinggi Negeri (PTN) badan hukum dan badan penyelenggara sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Permen Nomor 44 tersebut dalam hubungannya dengan Pasal 51 Ayat 2 pada Permen yang sama. Namun, tidak ada penyebutan secara eksplisit mengenai dosen PTN Satuan Kerja (Satker) dan PTN Badan Layanan Umum (BLU).
Apakah ini menjadi salah satu alasan sehingga kementerian menerbitkan Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2024 tentang penundaan implementasi Permen Nomor 44/2024 dalam rangka mengakomodir seluruh dosen PTN dan dosen badan penyelenggara? Wallahu’alam. Ini hanyalah pemaknaan secara pribadi dengan mencoba untuk berpikir positif terhadap pemerintah.